Sunday, May 19, 2013

Open (Love) Letter

Sudah beberapa kali gue coba tulis ini dan ya... lo tahu akhirnya gagal. Gagal melanjutkan sampai selesai, gagal move on juga. Nyebelin.

Gagal menyelesaikan karena masih pikir-pikir "Harus nggak ya gue nulis?", padahal mau ngomong langsung susah. Mau nulis surat juga bingung, ngirim ke rumahnya gimana. Alamatnya nggak punya. Gue yakin kalau minta ke kampus nggak akan dikasih, mau minta ke temennya nanti dipikir macem-macem. Pusing.

Gagal move on. Yah..yaudah nggak usah dibahas kenapa gagalnya. Yang jelas dia masih jadi salah satu yagn terbaik dan membekas. Bekasnya kayak apaan? Awalnya lecet-lecet di bagian hati sebelah kiri atas, ada tiga cakaran sepanjang 10 cm. Sekarang sudah mengering, tapi kalau disentuh masih nyeri. Dan berulang kali nyut-nyutan karena... ya gagal move on. Keinget terus...jijay.

Gue pernah sayang sekali dengan seseorang. Pernah. Tapi orang itu gue tinggalkan. Gue yang memilih meninggalkan.

Tanpa alasan yang kalau gue pikir lagi nggak masuk akal, terlalu mengada-ada, dan pikir pendek. Asli, itu alasan waktu itu kayaknya enggak banget deh. Terlalu mencari-cari. Kayak maksain Raffi Ahmad mengakui adanya narkoba di laci kamarnya itu punya doi. Ish, nggak bener banget analoginya kasus artis :3

Modusan awal karena temen gue yang tukang-komentar-otaknya-agak-meleset-tapi-kadang-tebakannya-bener. Sialan emang. Setelah diperhatikan, ternyata emang gue dimodusin. Itu awalnya.

Iseng-iseng berhadiah. Modusin baliklah. Gue udah lama jomblo juga, haha. Akhirnya ada deh tuh cerita sana-sini. Dia cerita gebetannya. Gue pendengar yang baik-baik merpati, cuih. Sampai akhirnya, ada angka  tujuh dan delapan di tiket pertunjukkan jazz. Itu, itu yang akhirnya jadi merembet kemana-mana.

Jadi merembet ke pengen ketemu melulu, ngobrol melulu, jalan bareng lagi, godain lagi. Sialan keinget lagi. Bete lho kalau akhirnya sekarang malah inget lagi. Di satu sisi itu memang seru, di sisi lain pengen mengkritik diri "Ah elah yang bener aja masih diinget-inget!!"

Menyesal meninggalkan sih enggak, hmm..setengah deh, setengah menyesal. Karena sebenernya akhirnya gue sadari, kesalahan itu ada di gue. Gue yang mahasiswa komunikasi ini tidak berhasil membangun komunikasi intrapersonal yang baik. Kalau di teorinya, bahkan teori paling dasar, kalau lo mau sesuatu ya ngomong! Nggak ada orang yang dapat paham maksud lo apaan secara jelas tanpa dibicarain.

Harusnya dulu gue jelasin gue nggak suka harus ketemu setiap hari, gue masih punya teman lain yang sesekali gue ajak hangout. Gue nggak pernah ngomong, karena nggak pernah mau buat dia marah (walau mungkin dia nggak marah juga kalau gue jelasin kalau mau main sama temen seangkatan).

Harusnya gue jelasin apa yang jadi kesukaan gue. Dan gue dengar apa yang jadi kesukaan dia. Sampai sekarang pun gue nggak tahu warna kesukaan dia apa! Shame on me...

Maunya gue, dia kalem. Bisa mengimbangi gengsi bonafide-nya gue. Nggak petakilan bertingkah. Tapi kali udah sifat dasarnya. Toleransi, pemahaman yang gue buat belum sampai ke sana. Gue terganggu. Gue tinggalin. Alasan yang paling tepat dia bukan yang gue mau, saat itu. *Sekarang sih mau, lagi (self-toyor)*

Dan ya akhirnya semua berakhir gitu aja. Gue juga terlambat sadar. Sadar kalau ada sikap dia yang gue masih perlu, pengen, dan kangenin. *Kadang gue masih inget gimana lo pesen makanan yang harus tanpa MSG*


Terus sekarang apa?

Gue juga bingung mau minta maaf langsungnya gimana. Gue susah ketemunya, susah move on-nya, sudah ngeliat dia kayaknya sangat berhasil move on~

0 comments:

Post a Comment