Gaung namanya telah banyak
didengar sebagai nama Jalan Otista di beberapa kota. Namun mungkin ada yang
belum mengenal sosok pria kelahiran Bandung, 31 Maret 1897 ini.
“Namanya memang masih ada
perdebatan, menggunakan satu ‘T’ atau ada juga yang menulis dengan dua ‘T’,”
kata Imran, pria yang bertugas memberi penjelasan pada pameran tokoh R. Oto
Iskandar di Nata di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jalan Imam Bonjol nomor
1, Jakarta Pusat.
Seperti yang diungkapkan Imran,
nama Raden Oto Iskandar di Nata masih menjadi perdebatan. Termasuk kata ‘di
Nata’ yang sebagian menuliskan disambung menjadi ‘Dinata’ dan pihak lainnya
menulis bak nama kompeni ‘de’ yang di Indonesiakan menjadi ‘di’.
Ada juga yang mengenalnya dalam
sosok lebih muda, namun apakah benar ada keterkaitannya, itu perlu dibuktikan
pada sutradara film yang cukup dikenal Nia Dinata. Menurut Imran, ada yang
mengatakan Dinata dari nama itu adalah karena hubungan keluarga. Oto Iskandar
di Nata adalah kakek dari Nia Dinata.
Oto pada semasa hidupnya dikenal
sebagai salah satu tokoh pemuda yang kritis dan organisator yang aktif dalam
gerakan kepemudaan. Lahir dari orang tua yang menjadi turunan bangsawan, Raden
Haji Rachmat Adam yang menikah dengan Nyi Raden Siti Hatijah, Oto memiliki
delapan orang saudara. Sedangkan Oto sebagai anak ketiga.
Karena menjadi anak bangsawan,
Oto termasuk pribumi beruntung. Dirinya kali pertama masuk sekolah dasar
Hollandsch Inlandsch School (HIS) di Bandung. Pendidikan akhirnya dia teruskan
di Sekolah Guru Bagian Pertama Hollandsch Inlandsch Kweekschool (HIK) di kota
yang sama. Akhirnya pada 1920, Oto lulus dari Sekolah Guru Atas Horege Kweekschool
(HKS) di Purworejo, Jawa Tengah.
Organisasi kepemudaan dan
berkecimpung di dunia politik baru diliriknya setelah dirinya menjadi guru di
HIS Banjarnegara, Jawa Tengah dan pindah ke Bandung pada 1921. Karena
kegemarannya membaca buku dan surat kabar politik, posisi Wakil Ketua Budi
Utomo cabang Bandung langsung diembannya pada tahun itu.
Berpolitik dan mengajar adalah
dua hal yang tidak dapat lepas dari pejuang yang turut menjadi salah satu tokoh
perumusan naskah proklamasi di rumah Laksamana Tadashi Maeda pada 17 Agustus
1945 dini hari silam. Ketika pindah tugas ke Pekalongan, dirinya menempati
tempat yang sama, sekaligus menjadi Komisari Hoofbestuur Budi Utomo.
Oto juga sempat mengicipi hidup
di Batavia. Kala itu dirinya ditugaskan mendidik para siswa di HIS
Muhammadiyah. Politik juga kembali ditekuninya. Oto masuk Panguyuban Pasundan
dan menjabat sebagai Sekretaris Pengurus Besar di tahun 1928.
Sebagai seorang organisator yang
lantang menyuarakan kecurangan pemerintah kolonial Belanda, mengecam, serta
mengeritik regulasi merugikan bagi bangsa Indonesia, akhirnya Oto mendapat
julukan ‘Si Jalak Harupat’. Nama yang didapatkan dari teman seperjuangannya itu
diibaratkan bak ayam jago yang tidak terkalahkan di medan laga.
Hingga di tahun 1933, rupanya
terpampang di uang hijau Rp20.000 ini memilih untuk berkarir politik dan
menanggalkan kesibukannya sebagai pendidik.
Tidak hanya politik, Oto ternyata
juga jago dalam hal perekonomian. Keahliannya itu ditunjukkan dalam Badan Usaha
Pasundan yang melayani para petani menyetorkan hasil, lalu diputar lagi.
Langkah Oto sebagai pejuang
negara tidak berhenti sampai di situ. Namanya juga tertera dalam anggota Badan
Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panita Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pada 20 Desember 1945 atau
tepatnya setelah empat bulan kemerdekaan Indonesia, Oto meninggal dunia karena
sakit dalam masa penculikan dan dibuang ke Pantai Ketapang, Mauk, Tangerang.
Figurnya kini dipamerkan dari 18
September hingga 18 Oktober di bangunan samping kanan rumah tempat naskah
Proklamasi dibentuk Soekarno dan Hatta merumuskan masa depan bangsa, rumah
Laksamana Tadashi Maeda, Museum Perumusan Naskah Proklamasi, di Jalan Imam
Bonjol nomor 1, Jakarta Pusat.
Pameran ini buka dari pukul 09.00
hingga 15.00 WIB dengan tiket masuk Rp2.000 untuk dewasa dan Rp1.000 untuk
anak-anak. Tiket ini sudah termasuk melihat-lihat Museum Perumusan Naskah
Proklamasi di bangunan utama.
0 comments:
Post a Comment