Friday, October 4, 2013

Oto Iskandar di Nata

Gaung namanya telah banyak didengar sebagai nama Jalan Otista di beberapa kota. Namun mungkin ada yang belum mengenal sosok pria kelahiran Bandung, 31 Maret 1897 ini.  

“Namanya memang masih ada perdebatan, menggunakan satu ‘T’ atau ada juga yang menulis dengan dua ‘T’,” kata Imran, pria yang bertugas memberi penjelasan pada pameran tokoh R. Oto Iskandar di Nata di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jalan Imam Bonjol nomor 1, Jakarta Pusat.

Seperti yang diungkapkan Imran, nama Raden Oto Iskandar di Nata masih menjadi perdebatan. Termasuk kata ‘di Nata’ yang sebagian menuliskan disambung menjadi ‘Dinata’ dan pihak lainnya menulis bak nama kompeni ‘de’ yang di Indonesiakan menjadi ‘di’.

Ada juga yang mengenalnya dalam sosok lebih muda, namun apakah benar ada keterkaitannya, itu perlu dibuktikan pada sutradara film yang cukup dikenal Nia Dinata. Menurut Imran, ada yang mengatakan Dinata dari nama itu adalah karena hubungan keluarga. Oto Iskandar di Nata adalah kakek dari Nia Dinata.


Oto pada semasa hidupnya dikenal sebagai salah satu tokoh pemuda yang kritis dan organisator yang aktif dalam gerakan kepemudaan. Lahir dari orang tua yang menjadi turunan bangsawan, Raden Haji Rachmat Adam yang menikah dengan Nyi Raden Siti Hatijah, Oto memiliki delapan orang saudara. Sedangkan Oto sebagai anak ketiga.

Karena menjadi anak bangsawan, Oto termasuk pribumi beruntung. Dirinya kali pertama masuk sekolah dasar Hollandsch Inlandsch School (HIS) di Bandung. Pendidikan akhirnya dia teruskan di Sekolah Guru Bagian Pertama Hollandsch Inlandsch Kweekschool (HIK) di kota yang sama. Akhirnya pada 1920, Oto lulus dari Sekolah Guru Atas Horege Kweekschool (HKS) di Purworejo, Jawa Tengah.

Organisasi kepemudaan dan berkecimpung di dunia politik baru diliriknya setelah dirinya menjadi guru di HIS Banjarnegara, Jawa Tengah dan pindah ke Bandung pada 1921. Karena kegemarannya membaca buku dan surat kabar politik, posisi Wakil Ketua Budi Utomo cabang Bandung langsung diembannya pada tahun itu.

Berpolitik dan mengajar adalah dua hal yang tidak dapat lepas dari pejuang yang turut menjadi salah satu tokoh perumusan naskah proklamasi di rumah Laksamana Tadashi Maeda pada 17 Agustus 1945 dini hari silam. Ketika pindah tugas ke Pekalongan, dirinya menempati tempat yang sama, sekaligus menjadi Komisari Hoofbestuur Budi Utomo.

Oto juga sempat mengicipi hidup di Batavia. Kala itu dirinya ditugaskan mendidik para siswa di HIS Muhammadiyah. Politik juga kembali ditekuninya. Oto masuk Panguyuban Pasundan dan menjabat sebagai Sekretaris Pengurus Besar di tahun 1928.

Sebagai seorang organisator yang lantang menyuarakan kecurangan pemerintah kolonial Belanda, mengecam, serta mengeritik regulasi merugikan bagi bangsa Indonesia, akhirnya Oto mendapat julukan ‘Si Jalak Harupat’. Nama yang didapatkan dari teman seperjuangannya itu diibaratkan bak ayam jago yang tidak terkalahkan di medan laga.

Hingga di tahun 1933, rupanya terpampang di uang hijau Rp20.000 ini memilih untuk berkarir politik dan menanggalkan kesibukannya sebagai pendidik.

Tidak hanya politik, Oto ternyata juga jago dalam hal perekonomian. Keahliannya itu ditunjukkan dalam Badan Usaha Pasundan yang melayani para petani menyetorkan hasil, lalu diputar lagi.

Langkah Oto sebagai pejuang negara tidak berhenti sampai di situ. Namanya juga tertera dalam anggota Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panita Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Pada 20 Desember 1945 atau tepatnya setelah empat bulan kemerdekaan Indonesia, Oto meninggal dunia karena sakit dalam masa penculikan dan dibuang ke Pantai Ketapang, Mauk, Tangerang.

Figurnya kini dipamerkan dari 18 September hingga 18 Oktober di bangunan samping kanan rumah tempat naskah Proklamasi dibentuk Soekarno dan Hatta merumuskan masa depan bangsa, rumah Laksamana Tadashi Maeda, Museum Perumusan Naskah Proklamasi, di Jalan Imam Bonjol nomor 1, Jakarta Pusat.



Pameran ini buka dari pukul 09.00 hingga 15.00 WIB dengan tiket masuk Rp2.000 untuk dewasa dan Rp1.000 untuk anak-anak. Tiket ini sudah termasuk melihat-lihat Museum Perumusan Naskah Proklamasi di bangunan utama.

0 comments:

Post a Comment