Sunday, April 18, 2010

Half Full of Life

Siang ini di saat makan siang di bakso Tittoti, saya dan mama membicarakan tentang hal esensial dari hidup. Bagian dari hidup beberapa orang. Mungkin mama, tapi bukan saya.

"Jadi menikah, ma?"

"Menurut kamu gimana?" mama menatap mata saya.

"Aku sih nggak apa-apa. Cuma masih nggak bisa ngebayangin aja nanti ada orang baru yang akan masuk ke kehidupan kita, bertiga." saya membuang mata. "Aku menemukan mama dan papa itu dalam satu paket. Kalian berdua, selalu berdampingan. Mungkin akan susah ketika nanti yang aku liat di samping mama itu bukan papa. Bukan yang dulu aku bayangkan akan selamanya bersama hingga akhir. Dari kecil aku nggak pernah aja bayangin akan ada pernikahan kedua. Apa bayangan mama dulu, ketika menikah dengan papa? Pernah nggak kebayang kalo ternyata yang mama nikahi dulu itu bukan jodoh (sampai mati) mama?"

Saya, mungkin kita. Tidak ada yang akan tahu bahwa 20 tahun lagi, mungkin kita akan menikah dengan teman yang tidak pernah kita ajak berbicara intens dulu. Teman sekali lewat. Teman asal kenal. Tapi pasangan dan calon pasangan kita ini dulu saling kenal.

Kisah hidup kita hanya tercatat di AD/ART perjanjian kita sama Tuhan. Kalaupun ada ahli nujum yang bisa nyontek, pasti contekkannya ada ngawurnya. Tuhan pasti menutup rapat-rapat lembaran janji itu. Yang boleh liat cuma yang tanda tangan, kita perseorangan dan Tuhan. Bahkan malaikat pun cuma suruhan, bukan pengambil keputusan takdir, bukan yang membaca.

0 comments:

Post a Comment