Tuesday, December 17, 2013

Hatta is Our Real Hero!

Menonton film Soekarno yang digemparkan media massa memuat intrik antara pembuat film dengan pihak keluarga presiden pertama Indonesia itu memang menarik. Hari ini, Selasa 17 Desember, seperti kebiasaan sebelumnya, menonton film tanpa direncanakan. Beberapa informasi mengenai intrik ini sudah diketahui, ternyata sampai akhir film gue tidak menemukan bagian mana saja yang dipertentangkan. Tapi berpendapat bahwa ini adalah film sampah. 




Film sampah jika pembuatnya ingin merangkum perjalanan hidup Soekarno sebagai  sosok pejuang, presiden pertama negeri ini. Gagal, meski tidak seratus persen. Masih ada sisi-sisi yang gue anggap menarik. Tapi mohon dipahami ini pendapat dari sisi penonton yang bukan kritikus film profesional atau menghabiskan waktunya untuk mengapresiasi seluruh film yang tayang di bioskop. Gue hanya penonton biasa. 

Upaya membangun rasa nasionalisme, patriotisme dalam film ini sudah terlihat sejak awal. Ketika akan menonton ini, tolong sekali jangan sampai terlambat. Penonton film ini akan diajak berdiri dan menyanyikan satu lagu Indonesia Raya. Ini patut dilakukan, jika memang masih ingin tumbuh sebagai pribadi manusia yang menghargai nilai-nilai kebangsaannya, sejarahnya. Beri hormat, jika ingin lebih menghayati. Kalau enggak mau hormat juga tidak masalah, toh tidak ada bendera yang sedang dikerek dalam bioskop itu. 

Terlepas film ini dibaca Soekarno dengan "OE" yang dimerahkan atau Sukarno, film ini gue bilang gagal, meski tidak seratus persen. Ario Bayu, menurut gue sama sekali enggak bisa 'menyentil' aura kepemimpinan Soekarno. Hanya ada beberapa bagian kecil tentang sejarah bagaimana Soekarno membuat rakyat Indonesia pada jaman itu percaya dia tokoh yang dihormati. 

Menurut gue, gambar bagaimana Soekarno turun tangan kepada korban yang ditembak prajurit Jepang ya enggak bisa menjelaskan dia itu sosok yang memperjuangkan warga negaranya. Cerita film berdurasi dua jam lebih ini banyak memakan porsi bagaimana Soekarno galau soal perempuan pilihannya. 

Iya, galau. Sumpah, presiden pertama gue ternyata segalau itu mengenai perempuan. Adegan yang paling bikin gue tersentak mengenai "Don Soekarno" ini ketika dia sudah bertemu Hatta, lagi jalan bareng membicarakan soal pembentukan PUTERA. Tiba-tiba dia duduk di kursi taman, mikir. Adegan selanjutnya, gue akui bagus sekali, membingkai Soekarno dan Hatta berbincang berdua di kursi taman. Tapi kemudian, Inggit (istri kedua Soekarno) minta cerai karena prinsip ogah dimadu, dibagi perhatiannya dengan Fatmawati. 

Apalagi ketika Soekarno dan Inggit sudah menandatangani surat perceraian. Soekarno bilang mau antar Inggit ke tempat tinggalnya yang baru setelah berpisah. Soekarno bilang alasan mengantar itu untuk yang terakhir kalinya. Hati perempuan mana yang enggak 'jleb', untuk terakhir kalinya. 

Mundur sedikit. Kalau suka sama orang memang harus begitu. Samperin rumahnya, ajak bicara. Soekarno bisaan banget modusin Fatmawati selama dia tinggal di Sumatra Barat. Suatu ketika Soekarno mengantarkan foto pernikahan saudara Fatmawati, di adegan itu Soekarno pindah duduk, mendekati Fatmawati. Mulai deh gaya "Don Soekarno"nya keluar. 'Njelehi' kalau kata orang Jawa. 

Soal perempuan, di film ini hanya dua orang yang sempat terceritakan. Inggit yang bertahun mengikuti Soekarno dari satu tempat pengasingan ke tempat lainnya, menunggu Soekarno yang dibui, sampai dukungannya merintis kemerdekaan Indonesia. 
Fatmawati justru baru hadir beberapa saat sebelum Jepang kalah dari Sekutu Amerika dan aroma kemerdekaan muncul. Memang yang menjahit Sang Saka Merah Putih adalah Fatmawati, tapi kenapa hanya dia yang seolah-olah menjadi pahlawan 'ring 2' di buku-buku sejarah? Menurut gue ibu Inggit lebih banyak, lebih lama mengurusi Soekarno menggelorakan ideologinya. 

Film ini gue lihat juga tidak sepenuhnya mampu menyajikan peran Soekarno sebagai Proklamator, perintis kemerdekaan. Dalam film, Soekarno merumuskan isi Pancasila. Tapi saat menyusun naskah Proklamasi, Hatta lebih banyak berperan. 

Peran Hatta juga banyak terlihat dari pertanyaannya yang dilontarkan pada Jepang mengenai bagian mana dari Indonesia yang ikut merdeka. Membekas sekali 'bentakan' Hatta dalam pertemuan dengan perwira tinggi Jepang yang juga dihadiri Tadashi Maeda. Hatta menegaskan penyerahan kekuasaan untuk kemerdekaan Indonesia bukan main-main. Dia singgung mengenai "nilai seorang Samurai", itu menurut gue peran penting hingga hadirnya Proklamasi di Pegangsaan Timur 56, Jakarta, kala itu.

Saat berbincang berdua dengan Soekarno, Hatta mengungkapkan pendapat Sutan Sjahrir bahwa Sjahrir banyak menentang Soekarno tapi tidak pernah meragukan kekuatan Soekarno untuk mendapat simpati dan hati rakyat Indonesia. 

Menurut pendapat gue, Hatta sosok yang sangat terpelajar, berwibawa, dan cerdas. Terlihat dari konsep-konsep negara yang diajukan. Atau Hatta yang diperankan Lukman Sardi dalam film ini yang berhasil membuat sosok wakil presiden pertama ini tampak berwibawa. Tapi penggambaran Hatta dalam film ini membuat gue ingin ada film, entah mungkin sekuel film ini, yang khusus menggambarkan Hatta. Perannya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kita bernafas saat ini, di bumi Indonesia. 

Daripada makin melebar dan tidak jelas, mending tulisan ini diakhiri. 

Tapi, mungkin gue sebagai penonton yang salah menempatkan diri. Gue mengharapkan Soekarno yang diagungkan di buku sejarah jaman SD. Seorang presiden pertama Republik Indonesia dengan karir politiknya, bukan drama-drama percintaan antara Inggit dan Fatmawati. Mengenai bagaimana Soekarno benar-benar pemimpin yang terpandang di mata dunia sekaligus dekat dengan rakyatnya. Gambaran-gambaran mengenai itu yang gue tidak dapatkan dari film ini. 

"Expect nothing and appreciate everything." Mungkin gue harus cari film dokumenter untuk memenuhi harapan-harapan gue itu. Bukan film drama ini. 


0 comments:

Post a Comment