Wednesday, December 17, 2014

Pseudoscience of Human Being

Um... filmnya bagus. Meski dibuat mikir kayak film Lucy, tapi ini sedikit lebih mudah dicerna. Mungkin karena dibalut romantika yang berbenturan dengan pemahaman. Pseudoscience.

Banyak yang bikin pusing sekaligus sadar, ini film refleksi diri banget. Memperjuangankan takdir, keberadaan Tuhan, bicara tentang cinta yang bentuknya luar biasa kasat mata, mempertanyakan kebahagiaan... terlalu kompleks untuk ditulis satu-satu. Mungkin yang barusan disebut ada satu, dua, atau bahkan tidak ada sama sekali dalam penafsiran lo semua. 

Lihat deh poster di sebelah ini, enggak banget ya? Tapi ternyata filmnya bagus, bagus sekali. 



Gue pernah baca novel ini, jaman SMA. Inget gue, ada Diva yang jadi pelacur nyentrik. Maksudnya jual diri, tapi otaknya jalan, bicaranya nyinyir. Gue suka tokohnya. Ternyata setelah dibuat film, pemerannya berhasil punya sorot mata yang sharp. (Setelah googling, oke namanya adalah Paula Verhoeven)

Melihat Herjunot Ali di film ini, pikiran gue melayang ke karakternya sebagai Zainuddin di film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Dialog berima, juga hiperbola. 

Enggak usah bicara Rana lah. Memang sudah cantik dan tepat as a Rana. Harapan happy ending penonton enggak terkabul karena tokoh ini. Tapi justru menurut gue ini yang bikin cerita filmnya sempurna.

Pseudo Jakarta. Setting tempat dan waktu yang dibuat Reuben dan Dimas, memang mirip. Urban, canggih, tapi sekaligus menyeramkan. Karakter di dalamnya yang bikin seram :D

Yang paling membelah logika adalah keberadaan Supernova, si cyber apalah itu mereka sebutnya. Mungkin kalau jaman sekarang kayak pencampuran Siri di iPhone dengan Anita Prediction di Facebook. Kalau bahasa kasarnya, chatting sama Tuhan. Supernova ada di mana-mana, sampai akhirnya terkuak di akhir cerita.

Gue lebih suka sebut pesan moral film ini menjadi dewasa berarti menjadi lebih rumit. Pemikiran lo dapat membawa lo menjadi apapun. Jadi egois itu wajar karena manusia memang punya itu kan, tapi bagaimana akhirnya memilih membahagiakan banyak orang. Kemudian, gue makin males (oke, baca:takut) menikah, berkomitmen. Benar yang teman gue pernah bilang, "Nikah bisa cuma 5 tahun pertama merasakan cinta, tapi tahun-tahun kemudian adalah komitmen".

Film ini menurut gue baik. Sudah bikin pusing yang nonton, bikin satu bioskop menggumam karena ada adegan romantis Reuben dan Dimas, soundtrack yang mayoritas adalah suara Giring Nidji, masih juga menyisakan kebebasan penontonnya untuk menafsirkan pesan filmnya.

0 comments:

Post a Comment